Isu terkait keamanan siber diperkirakan tetap menjadi salah satu fokus utama di tahun 2025. Beragam aspek lanskap keamanan siber akan menarik perhatian di tahun mendatang. Kaspersky, perusahaan keamanan siber asal Rusia, mengungkapkan prediksi tentang potensi pelanggaran siber di 2025. Beberapa poin penting yang mereka soroti meliputi penyalahgunaan kecerdasan buatan (AI) dan kejahatan yang memanfaatkan popularitas produk yang belum dirilis.
Kaspersky memproyeksikan bahwa pada tahun 2025, kecerdasan buatan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari manusia. Teknologi AI yang sebelumnya dianggap inovatif kini mulai berubah menjadi kebutuhan standar. “Dampak terbesar bagi konsumen pada tahun 2025 kemungkinan akan muncul dari pertemuan antara inovasi teknologi dan regulasi, termasuk kemajuan AI serta perlindungan privasi,” ungkap Anna Larkina, pakar privasi Kaspersky, dalam pernyataan resminya pada Jumat (29/11).
Teknologi seperti Google dan Bing telah mengintegrasikan AI untuk meningkatkan hasil pencarian, sementara chatbot semakin banyak digunakan untuk berbagai keperluan, seperti menjawab pertanyaan, mengedit media, hingga menyederhanakan alur kerja. Dengan semakin canggihnya fitur AI pada sistem operasi utama seperti iOS dan Android, pengaruh AI terhadap kehidupan pribadi dan profesional diperkirakan akan semakin besar.
Namun, normalisasi AI juga membawa tantangan baru. Kaspersky menyoroti bahwa pada tahun 2025, kemampuan AI dalam menciptakan deepfake yang lebih personal akan terus berkembang, sehingga memunculkan risiko terhadap etika dan privasi. Selain itu, meningkatnya polarisasi politik memperburuk masalah cyberbullying. Algoritma media sosial yang mempromosikan konten kontroversial dapat menjadi lahan subur bagi tindak kejahatan daring. Penggunaan AI untuk menghasilkan deepfake atau unggahan palsu turut memperbesar risiko ini, dengan dampak yang sering kali melintasi batas negara.
Sebagai langkah antisipasi, Kaspersky mencatat adanya upaya seperti pembatasan penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, seperti yang diterapkan di Australia. Kebijakan ini dapat menjadi inspirasi bagi negara lain, meskipun keberhasilannya sangat bergantung pada teknologi verifikasi usia yang akurat. Platform seperti Instagram juga berencana memanfaatkan AI untuk mendeteksi pengguna yang memberikan informasi usia palsu sebagai bagian dari upaya mengatasi masalah ini.